Masa Kecil Al Farabi
adalah salah satu ilmuwan dan filsuf Islam, selain itu beliau juga dikenal
sebagai fisikawan, kimiawan, ahli logika, ilmu jiwa, metafisika, politik,
musik, dll. Al Farabi yang mempunyai nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-farabi lahir di Wasij di Distrik Farab (juga
dikenal dengan nama Utrar), sekarang di wilayah Uzbekistan, tahun 257 H/ 870 M
dan meninggal di Damaskus tahun 950 M (berumur sekitar 80 tahun). Di dunia
barat Al Farabi dikenal dengan nama Alpharabius atau Abunasir (Avennaser).
Ibunya berasal dari Turki dan ayahnya berasal dari Persia (Suriah). Ayah beliau
adalah seorang opsir keturunan Persia yang mengabdi kepada pangeran-pangeran
Dinasti Samaniyyah. Diprediksi masuknya keluarga Farabi ke dalam islam terjadi
pada masa hidup kakek beliau, Tarkhan. Peristiwa itu terjadi kira-kira
bersamaan dengan peristiwa penaklukan dan islamisasi atas Farab oleh Dinasti
Samaniyyah pada tahun 839-840 M. Kenyataan bahwa Al-Farabi adalah putra seorang
militer menjadi cukup penting karena hal itu memisahkan dirinya dari
filsuf-filsuf islam abad pertengahan lainnya. Tidak seperti Ibnu Sina yang
ayahnya bekerja dalam birokrasi Samaniyyah atau Al Kindi yang ayahnya adalah
gubernur Kufah. Al Farabi tidak termasuk dalam kelas katib, suatu kelas yang
memainkan peranan administratif yang besar bagi pengusaha-pengusaha Abbasiyyah
dan satelit-satelit mereka. Ketika kecil, beliau dikenal rajin belajar dan
memiliki otak yang cerdas, belajar agama, bahasa Arab, Bahasa Turki, dan bahasa
Parsi di kota kelahirannya, Farab. Selain itu beliau juga mempelajari Al
Qur'an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqih, tafsir, dan ilmu
hadits) dan aritmatika dasar. Al Farabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik
di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem madrasah di Seljuk, menuntut ilmu
dilakukan di lingkungan-lingkungan pengajaran yang diadakan oleh berbagai
individu, baik di rumah mereka maupun di masjid. Ada juga perpustakaan besar
yang menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi. Ada dikotomi
tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadits, fiqih, serta ushul
(prinsip-prinsip dan sumber-sumber agama) dan studi tambahan seperti studi
bashasa Arab dan kesusasteraan dan ilmu-ilmu asing, yaitu ilmu-ilmu Yunani yang
memasuki dunia Islam melalui penerjemahan dari orang-orang Kristen Nestorian
seperto Hunain Ibn Ishaq dan mahzabnya. Lembaga pendidikan pada awalnya
bersifat tradisional yang mendapatkan dukungan finansial dari wakaf, sedangkan
ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan di rumah atau di Dar Al-Ilm'. Baghdad
Kurang puas dengan pendidikan yang ada di sana, Ibnu Farabi pindah ke Baghdad
yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Di Baghdad beliau
bertemu dengan orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Al
Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr al-Sarraj; belajar logika
dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen Nestorian) yang banyak
menerjemahkan filsafat Yunani dan Yuhana bin Hailam (seorang filsuf Kristen).
Al-Farabi unggul dalam ilmu logika. Beliau banyak memberikan sumbangsih dalam
penempaan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab meskipun menyadari
perbedaan antara tata bahasa Arab dan Yunani. Harran Setelah kurang lebih 10
tahun tinggal di Baghdad, kira-kira pada tahun 920 M, Al Farabi mengembara ke
kota Harran yang terletak di Utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan
pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Daerah Harran ini dikenal pula sebagai
tempat nabi Ibrahim as lahir dan dibesarkan sekaligus menjadi tempat lahir
bapak para nabi itu. Di Harran beliau belajar pada seorang filsuf kristen yang
bernama Yuhanna bin Jilad. Baghdad Al Farabi kemudian kembali lagi ke Baghdad
untuk mengajar dan menulis. Beliau adalah filsuf Islam pertama yang berupaya
menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat Yunani
klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Beliau berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat
secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204-270 M) yang menjadi
peletak filsafat pertama di dunia barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus
sebagai Syaikh al-Yunani (guru besar dari Yunani) maka mereka menyebut al
Farabi sebagai al-Mu'allim al-Tsani (guru kedua). 'Guru pertama' disandang oleh
Aristoteles. Julukan 'guru kedua' diberikan pada al Farabi karena beliau adalah
filsuf muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang
kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato (guru Aristoteles).
Karya Al Farabi yang berjudul al-Ibanah 'an Ghardh Aristhu fi Kitab Ma Ba'da
al-Thabi'ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika) banyak
membantu para filsuf sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon
Ibnu Sina (filsuf besar sesudah Al Farabi) sudah membaca 40 kali buku
metafisika Aristoteles, bahkan beliau menghapalnya, tapi diakui bahwa beliau
belum juga mengerti. Namun setelah membaca kitab karya Al farabi yang khusus
menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham
pemikiran metafisik Aristoteles. Setelah melakukan petualangan cukup lama di
Baghdad sekitar 20 tahun, pada tahun 942 M situasi di ibukota semakin buruk
karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak Al-Baridi,
kelaparan dan wabah merajalela. Khalifah Al-Muttaqi meninggalkan Baghdad dan
berlindung di Istana pangeran Hamdaniyyah, Hasan (yang kemudian mendapat
sebutan Nashr Al-Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali, bertemu khalifah di
Tarkit. Ali memberi khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke
Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke
baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah
menganugerahi Ali gelar Saif Al-Daulah. Al Farabi sendiri pergi ke Damaskus.
Damaskus Menurut Ibn Abi Usaibi'ah di Damaskus Al-Farabi bekerja siang dan
malam sebagai tukang kebun dan malam hari belajar teks-teks filsafat dengan
memakai lampu jaga. Al-Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Beliau tidak terlalu
mementingkan hal-hal keduniawiaan. Al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul
Al-Madinah Al-Fadhilah, manuskrip yang mulai ditulisnya di Baghdad. Di Damaskus
manuskrip tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 942/3 M. Sekitar masa-masa
ini Al Farabi melakukan perjalanan ke Mesir yang pada saat itu diperintah oleh
Ikhsyidiyyah. Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al Farabi menyelesaikan
Siayasah Al-Madaniyyah yang mulai ditulis di Baghdad. Setelah meninggalkan
Mesir, Al Farabi bergabung dengan lingkungan cendekiawan cemerlang filosof,
penyair, dan sebagainya yang berada di sekitar Pangeran Hamdaniyyah yang
bernama Said Al-Daulah. Sultan memberi Al Farabi jabatan sebagai ulama istana
dengan banyak fasilitas kerajaan yang mewah. Namun fasilitas mewah itu
ditolaknya dan hanya mau menerima 4 dirham/hari untuk mencukupi kebutuhan
sehari-harinya secara sederhana. Sisa dari gaji yang diterima dari istana
digunakan Al Farabi untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir
miskin di sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, Al Farabi wafat dengan
usia sekitar 80 tahun. Ada satu legenda di kemudian hari yang tidak terdapat
pada sumber awal dan karena hal itu maka diragukan bahwa Al farabi dibunuh oleh
pembegal-pembegal jalan setelah berani mempertahankan diri. Al Qifti mengatakan
bahwa Al Farabi meninggal ketika perjalanan ke Damaskus bersama Said Al-Daulah.
Saif al-Daulah dan beberapa anggota lainnya melakukan upacara pemakaman untuk
Al Farabi. Buah Pemikiran Filasafat Al Farabi Al Farabi menggunakan proses
konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk
memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori
ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan), yaitu
keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wajib al-Wujud (Tuhan).
Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakur (berpikir) Tuhan
tentang diri-Nya sehingga Wajib al-Wujud juga diartikan 'Tuhan yang Berpikir'.
Tuhan senantiasa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi
obyek pemikiran. Al Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan pada Tuhan: 1.
al-'Aql (akal) >> sebagai zat atau hakikat dari akal-akal 2. al-'Aqil
(yang berakal) >> sebagai subyek lahirnya akal-akal 3. al-Ma'qul (yang
menjadi sasaran akal) >> sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut: 1. Tuhan sebagai
al-'Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-'Aql (WUjud I) ini berpikir
tentang diri-Nya sehingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I
--> al-Sama' al-Awwal (langit pertama) 2. Wujud II berpikir tentang Wujud I
sehingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II --> al-Kawakib
(bintang-bintang) 3. Wujud III berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan
Wujud IV yang substansinya Akal III --> Saturnus 4. Wujud IV berpikir
tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV -->
Jupiter 5. Wujud V berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VI yang
sunstansinya Akal V --> Mars 6. Wujud VI berpikir tentang Wujud I sehingga
melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI --> Matahari 7. Wujud VII
berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal
VII --> Venus 8. Wujud VIII berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan
Wujud IX yang substansinya Akal VIII --> Mercury 9. Wujud IX berpikir
tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX -->
Bulan 10. Wujud X berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud XI yang
substansinya Akal X --> Bumi, ruh, materi pertama (Hyle) yang menjadi dasar
terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-'aql
al-fa'al (akal aktif) yang biasa disebut Jibril yang berperan sebagai wahib
al-suwar (pemberi bentuk, form). Al Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam 2
kategori: 1. Esensinya tidak berfisik Baik yang tidak menempati fisik (yaitu
Tuahn, Akal I, dan Akal-Akal Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa,
bentuk, dan materi) 2. Esensinya berfisik Yaitu benda-benda langit, manusia,
hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat: api, udara, air,
tanah Pemikiran Al Farabi tentang Jiwa Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran
Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident
('ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa karena
substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah (jiwa yang
berpikir) yang berasal dari alam Illahi sedang jasad berasal dari alam khalq
yang berbentuk, berkadar, bergerak, dan berdimensi. Jiwa manusia, menurut Al
Farabi, memiliki 3 daya: 1. Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa makan
(ghadiyah, nutrition); memelihara (murabbiyah, preservation); dan berkembang
biak (muwallidah, reproduction) 2. Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa
merasa (hassah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination) 3. Daya
berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa akal praktis ('aql
'amali) dan akal teoritis ('aql nazhari). 'Aql nazhari terbagi pada 3
tingkatan: a. al-'aql al-hayulani (akal potensial, material intellect) yang
mempunyai 'potensi berpikir' dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
(mahiyah) dari materinya b. al-'aql bi al-fi'l (akal aktual, actual intellect)
yang dapat melepaskan arti-arti (mahiyah) dari materinya dan arti-arti itu
telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual) bukan lagi dalam
bentuk potensial c. al-'aql al-mustafad (akal pemerolehan, acquired intellect)
yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya
karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. al-'aql
al-mustafad bisa berkomunikasi dengan Akal X (Jibril) dan mampu menangkap
pengetahuan yang dipancarkan oleh 'akal aktif' ('aql fa'al). Dan 'aql fa'al
menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual,
juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan anatar
'aql al-fa'al dan 'aql mustafad ibarat mata dan matahari. Pemikiran Al Farabi
tentang Asal-Usul Negara dan Warga Negara Menurut Al Farabi, manusia merupakan
warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena
itu manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuak orang
lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian dalam proses
yang panjang pada akhirnya terbentuk suatu Negara. Menurut Al Farabi, negara
atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling
mampu memenuhi kebutuhan hidup abtara lain: sandang, pangan, papan, dan
kemanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat sehingga mencapai
kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang sudah mandiri dan
bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata adalah Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara
yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar,
titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. Keberadaan warga negara sangat
penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara.
Menurut Al Farabi, perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga
negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara yaitu seorang
yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka. Negara Utama
dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama karena secara alami
pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada
3 klasifikasi utama: 1. Jantung. Jantung erupakan organ pokok karena jantung
adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lain 2. Otak. Bagian ini
selain bertugas melayani jantung juga mengatur organ-organ bagian di bawahnya
yakni organ peringkat ketiga, seperti hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
3. Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan
melayani organ dari bagian atas. Pemikiran Al Farabi tentang Pemimpin Dengan
prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting
dan paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah
seorang yang disebut sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni seorang yang
mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas). Disebutkan
adanya pemimpin generasi pertama (the first one-dengan segala
kesempurnaannya-Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka
generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai
(Ra'is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya Al Farabi mengingatkan bahwa
walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi namun kualitas seorang filsuf tidak
terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan maka Negara Utama
tersebut bagai 'kerajaan tanpa seorang Raja'. Oleh karena itu, Negara dapat
berada diambang kehancuran. Pemikiran Al Farabi tentang Teori Kenabian Teori
ini sekaligus digunakan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rawandi yang lebih
tegas penolakannya terhadap kenabian dan Al Razi yang kritik dan penolakannya
pada kenabian masih kontroversi dan diragukan. Menurut Al Farabi, nabi dan
filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan 'aql fa'al (akal ke 10) yang tidak
lain adalah Jibril karena keduanya sampai pada tingkat 'aql mustafad. Hanya
keduanya memiliki perbedaan: Nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa
melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau
daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa
berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui
latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, Nabi lebih tinggi
tingkatannya daripada filosof dan bisa juga dikatakan bahwa setiap Nabi pasti
seorang filosof tapi seorang filosof belum tentu seorang Nabi. Karya-Karya Al
Farabi 1. Al Jami’u Baina Ra’ya Al Hakimain Al falatoni Al Hahiy wa
Aristho-thails (Filosofi Plato dan Aristoteles). 2. Tahsilu as Sa’adah (Mencari
Kebahagian). 3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan). 4. Fususu Al
Taram (hakekat kebenaran) 5. Al Madinah Al Fadilah (Kota atau Negara Utama). 6.
As Syiyasyah (Ilmu Politik) 7. Fi Ma’ani Al Aqli. 8. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan
berbagai ilmu). 9. At Tangibu ala As Sa’adah. 10. Isabetu Al Mufaraqaat.
Demikianlah sedikit kisah tentang Al Farabi. Semoga kita bisa menjadi umat
Islam yang berpikir kritis dan cerdas :D
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar