Sabtu, 21 November 2015

Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits

Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits.
   
  Hadits sebagai pernyataan, perbuatan, taqrir dan hal-ihwal Nabi SAW. Merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadits seperti sekarang, hadits diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan, sesuai dengan keadaan masyarakat Arab waktu itu yang memiliki daya hafal yang sangat kuat. Tapi tidak berarti kegiatan penulisan hadits tidak ada sama sekali. Sebab,  bahkan pada masa paling awal sekalipun, banyak sahabat yang sudah mencatat hadits, meski hanya untuk kepentingan pribadi.
   Dalam masa yang cukup panjang, antara wafatnya Nabi SAW. Dengan diangkatnya ‘Umar bin Abdul ‘Aziz sebagai Khalifah, bayak pemalsuan hadits yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu demi berbagai tujuan. Atas kenyataan inilah, Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz mengeluarkan kebijakan untuk menghimpun hadits nabi SAW. Secara masal. Kebijakan resmi ini membuat para ahli hadits sangat antusias dan berusaha semaksimal mungkin untuk menghimpun hadits. Bagi mereka, melakukan lawatan ke berbagai daerah yang jauh untuk menghubungi para perawi, bukan permasalahan. Bahkan ketika apa yang mereka dapatkan di sana harus diteliti dan disaring secara ketat demi mengetahui palsu tidaknya, sejauh mana kualitasnya.
   Karena itu, proses penghimpunan hadits secara menyeluruh memakan waktu yang cukup panjang, lebih dari satu abad. Perjalanan itu telah menghasilkan banyak kitab yang berbeda kualitas, dan berbagai metode penyusunan.
   Demi meneliti kualitas sebuah hadits, para ulama menciptakan beberapa kaidah dan ilmu pengetahuan hadits, yang dengannya mereka dapat membagi-bagi hadits sesuai kualitasnya. Kaidah-kaidah itu sangat diperlukan untuk menyeleksi sebuah periwayatan hadits. Di sinilah ilmu hadits dirayah mulai terwujud, meski masih dalam bentuk yang sangat sederhana.
   Dalam perkembangan selanjutnya, kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan para ulama yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 hijriah, baik yang secara khusus mempelajari satu disiplin ilmu ataupun yang tidak sehingga kaidah-kaidah itumenjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Beberapa ulama yang berhasil menyusun ilmu hadits menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri secara utuh adalah:
a.)            Al-Qadliy Abu Muhammad ar-Ramahurmudziy (w. 360 H) dengan kitabya yang berjudul: “ Al- Muhaddits Al- Fashil Bainarrawii wal wa’i”
b.)           Al-Hakim Abu ‘Abdillah an-naisaburiy (321-405) dengan karyanya: “Ma’rifat ‘Ulum Al- Hadits.”
c.)            Abu Nu’man Ahmad bin Abdillah Al-Asfahaniy (336-430 H), lalu Al-Khathib Al-Baghdadiy (w.463 H) dengan kitabnya: “Al-Kifayatu fii Qowaaniin Ar-Riwaayah” dan “ Al- Jami’Addabi Syaikh wassami’ ”
d.)           Al-Qadhy ‘iyadi bin jusa (w. 544 H)
e.)            Abu hafs Umar bin Abdul Majid al-Mayanzi (w.580 H) dengan kitabnya yang berjudul: “Maalaa Yasii’ul muhaddits jahlah”
f.)            Abu Umar dan ‘Utsman bin Abd Ar-Rahman asy-Syahrazuri (w.643 H), dengan buah tangannya berjudul: “ ‘Ulumul Hadits” yang kemudian lebih dikenal dengan nana “Muqoddimah ibni Sholaah.”
Berikutnya dan dibuat sekitar 27 kitab ringkasan atau mukhtasharnya sehingga dapat dibuat pegangan dan rujukan oleh para ulama generasi selanjutnya.
   Kemudian muncullah berbagai macam kitab mushthalah hadits, baik dalam berbentuk syair seperti kitab nadzam alfiyyah as-Suyuthi, maupun yang berbentuk natsar (prosa). Juga berbentuk syarah keduanya, seperti Manhaju Dzawi an-Nadzar karya at-Tirmasyi (Pengasuh Pondok pesantren Termas Ponorogo Jawa Timur), yang mensyarahi at-taqrib karya imam am-Nawawiy.
   Dengan demikian, dapat diambil pemahaman bahwa hubungan antara ilmu hadits riwayaah dan ilmu hadits diraayah sangat erat satu sama lainnya. Sebab setiap ada periwayatan hadits, pasti ada kaidah-kaidah yang diperlukan untuk dipakai sebagai pijakan awal dalam penerimaan dan penyampaian hadits kepada orang lain. Akibatnya, kesempurnan ilmu hadits diraayah dinilai oleh kebutuhan yang berkaitan langsung dengan berkembangnya ilmu hadits riwayaah. Oleh karena itu, tidak mungkin ilmu hadits riwayaah berdiri tanpa ilmu hadits dirayaah, begitupun sebaliknya.
   Pada perkembangan selanjutnya, dai kedua ilmu hadits ini lahirlah berbagai cabang ilmu hadits lainnya, diantaranya adalah ilmu rijal al-hadits, ilmu al jarh wa at-ta’dil, ilmu taikh ar-ruwwat, ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbabul wurud al hadits dan ilmu mukhtalif al-hadits.

Cabang-cabang Ilmu Hadits
   Setelah ilmu hadits menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan setelah dikembangkan pembahasannya oleh para ulama, lahirlah cabang-cabang ilmu yang membahas secara khusus tenang masalah-masalah tertentu. Pada akhirnya, cabang-cabang tersebut diberi nama sesuai dengan  masalah-masalah yang dibahasnya.
   Sesuai dengan esensi pembahasan ilmu hadis, pembahasan-pembahasan yang berlangsung adalah pembahasan terhadap sanad, matan dan keduanya. Sementara itu, menurut Abu Abdillah An-Naisaburi di dalam Ma’rifat Ulum Al-Hadits, memaparkan bahwa pembahasan hadits mempunyai cabang hingga mencapai 50 macam.Sedangkan menurut Ibnu Al hazimi, jumlahnya mencapai 100 macam, dan menurut Ibnu Shalah sebanyak 65 macam.
   Walaupun sebenarnya pembahasan ilmu hadits tersebut becabang-cabang dan diadakan spesialisasi dalam pembahasannya, bukan berarti tiap-tiap cabang bediri sendiri dan lepas satu dengan lainnya. Melainkan antara satu dengan yang lain saling berhubungan dan saling diperhatikan.
   Dari beberapa cabang yang dibahas jika dikelompokkan atas masalah yang akan dibahasnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
a.              Cabang ilmu hadits yang pokok pembahasannya bertumpu pada sanad dan rawi. Diantara ilmu yang termasuk cabang ilmu ini adalah:
1)             Ilmu Rijal al-hadits, ilmu yang membahas tentang halihwal kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in, tabi’ut at-tabi’in. Orang yang pertama kali membukukan adalah Al-Bukhari (256H) dan dalam Thabaqat Ibnu Saad. Pada abad keujuh muncul izzudin bin al-Atsar yang menghimpun nama-nama sahabat dalam sebuah kitab. Usaha serupa juga dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam bukunya Al-Ishabah fi Tamyiz as- Shahabah.
2)             Ilmu Thabaqat ar-Ruwah, ilmu yang membahas keadaan rawi berdasarkan keadaan rawi-awi tertentu. Pengelompokkan tersebut didasarkan atas segi umunya, gurunya, dan lain sebagainya. Ulama yang kali pertama menulis tentang Thabaqat ialah al-Waqidy (130-209 H) dan kitab yang banyak dipegangi oleh ulama sekarang adalah Thabaqat Ibnu Saad yang disusun oleh murid Al-Waqidy.
3)             Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits, ilmu yang membahas tentang rawi yang menjadi sanad suatu hadits mengenai tanggal lahirnya, silsilah keturunannya, guru-guru yang memberikan hadits kepadanya, jumlah hadits yang diriwayatkan, dan murid-murid yang pernah mengambil hadits darinya.
4)             Ilmu Jarh wa at-Tadil, ilmu yang membahas tentang hal ihwal para periwayat dalam bidang kritik keaiban dan memuji keadilannya dengan norma-norma tertentu sehingga dari hal itu dapat ditentukan siapa periwayat yang dapat diterima dan siapa yang ditolak. Metode yang digunakan adalah Takhrij Al-Hadits bi al-lafzh dan Takhrij al-hadits bi al-maudhui. Yang pertama menekankan penelusuran hadits melalui lafal dan yang kedua penakanannya pada topik masalah. Ulama yang membahas ini adalah ibnu Abbas, Ubaidah bin Shamit, Anas bin Malik, ibnu Sirin, Al-Amasy, Syubah dan lain-lain.

b.              Cabang-cabang ilmu hadits yang pokok pembahasannya bertumpu pada matan. Yang masuk dalam kategori ini adalah:
1)             Ilmu Gharib Al-Hadits, ilmu yang membahas lafal-lafal matan hadits yang sulit dipahami dikarenakan jarangnya lafal itu digunakan atau nilai sastranya yang tinggi. Di antara ulama yang merintis usaha dalam bidang ini ialah Abu Ubaidah Muammar bin al-Masra Al-Bashiry (210 H) dalam bentuk yang ringkas dan disempurnakan oleh Abu Hasan al-Madla bin Syamil al-Mazini (204 H) dengan menyusun yang lebih sempurna lagi. Kemudian dilanjutkan lagi oleh Abu Ubaid al-Qasim as-Salman (223 H), Qutaibah (276 H) dan Zamakhsyari, dengan kitabnya Al-Faiq fi Gharib al-Hadits.
2)             Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, ilmu yang menerangkan tentang sebab-sebab atau latar belakang lahirnya suatu hadits. Diantara ulama yang secara intens membahasnya ialah Abu hamid bin Kaznah al-Jubary dan Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukhbary.
3)             Ilmu Tawarikh al-Mutun, ilmu yang menerangkan tentang kapan suatu hadits itu diucapkan atai diperbuat oleh Rasulullah. Ini berguna sekali untuk mengetahui Nasikh wa Mansukh suatu hadits. Ulama yang memberikan perhatian atas hal ini adalah al- Imam Sirajuddin Abu Hafsh Amr al-Bulkiny dalam bukunya Mahasinu al-Ishtilah.
4)             Ilmu Nasikh wa Mansukh, ilmu yang membahas tentang hadits yang dimansukh dan yang di nasikh. Di antara ulama yang ahli dalam ilmu ini ialah Abu Ishaq ad-Dinari (318 H) Muhammad bin Bahr al-Asbahani (322 H) Wahab bin Salam (410 H) Muhammad bin Musa al-Hazimi (583 H) dan Ibnu Jauzi (597 H).
5)             Ilmu Mukhtalaf Al-hadits, ilmu yang membahas hadits-hadts yang secara lahiriah bertentangan namun kemungkinan dapat diterima dengan suatu syarat. Cara yang ditempuh dengan cara membatasi kemutlakan dan keumumannya yang biasa yang disebut Ilmu Talfiq al-hadits. Ulama yang kali pertama membahasnya ialah As-Syafii (204 H) dalam kitabnya Mukhtalaf al-Hadits, Ibnu Qutaibah (276 H) Abu Yahya Zakaria bin Yahya al-Saji (307 H). Dan Al-Jauzi (598 H).
6)             Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif, ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titik dan bentuknya. Ulama yang dianggap sebagai perintis terhadap hal ini ialah Ad-Daruquthny dan Abu Ahmad al-Asykay.
7)             Cabang-cabang ilmu hadits yang pokok pembahasannya berpangkal pada sanad dan matan. Termasuk dalam cabang ini adalah sebagai berikut: (a) Ilmu Ilal al-Hadits, ilmu yang menjelaskan sebab-sebab yang samar yang mencatat suatu hadits. Misalnya, memuttasilkan hadits yang munqathi, memarfu’kan hadits yang mauquff, dan lain-lain. Ulama yang membahasnya ialah Ibnu Madany (234 H), Imam Muslim (261 H), Abi Hatim (327 H), Ali bin Umar ad-Dauquthny (375 H), Muhammad bin Abdullah al-Hakim (405 H), dan Ibnu Al-Jauzi (597 H). (b). Ilmu Fann al-Mubhamat, ilmu yang menerangkan tentang nama-nama orang yang tidak sebutkan namaya dalam sanad dan matan. Ulama yang merintisnya ialah al-Khatib al-Baghdadi.

Ulumul Hadits sebagai Ilmu Pengetahuan

   Perbincangan mengenai ilmu pengetahuan tidak akan lepas dari pengertian ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan (Ma’rifah / Knowledge) dalam pandangan James K. Feiblenan adalah hubungan antara obyek dan subyek. Dengan kata lain, pengetahuan adalah paham suatu subjek mengenai objek yang dihadapi. Subjek di sini adalah manusia sebagai kesatuan bebagai macam kesanggupan (akal, panca indea, dan lain-lain) yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu. Sebaliknya objek di sini adalah benda atau hal yang diselidiki yang merupakan realitas bagi manusia yang menyelidiki. Ilmu dalam pandangan beberapa para ahli adalah science yang mempunyai ciri-ciri berikut.
   Sudah menjadi kesepakatan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Objek kajiannya empiris dan mempunyai karakteristik khusus. Dan adanya hal tersebut didapatkan hasil yang bersifat rasional dan obyektif, universal dan komulatif.
   Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa ilmu hadits dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini dapat disebabkan bahwa ilmu hadits memiliki ciri-ciri sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, yaitu:
1.              Memiliki obyek studi yang eksplisit.
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh obyeknya. Setidaknya didalamnya terdapat dua obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah mencakup seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu. Sedangkan obyek formal merupakan obyek material yang telah disoroti oleh ilmu sehingga membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Dari hal itu maka objek kajian dari Ulumul Hadits secara material adalah hadits dan objek formalnya meliputi kajian atas matan, sanad dan rawi. Hal inilah yang membedakan antara ilmu hadits dengan ilmu yang lain.
2.              Memiliki sistematisasi/struktur yang berbeda dari disiplin lain. Telah terjadi kesepakatan di kalangan ilmuwan bahwa di dalam ilmu terdapat sekumpulan yang sistematis. Ciri sistematis ini menunjuk pada setiap keterangan dan daa yang tersusun sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Hal inilah yang membedakan dengan ilmu pengetahuan biasa karena pengetahuan ilmiah memiliki pertalian yang tertib menurut suatu tata tertib tertentu antarbagian-bagian yang merupakan pokok soal.
Sebagaimana lazimnya ilmu pengetahuan lain, ilmu hadits juga mempunyai sistemisasi tersendiri dan saling terkait satu sama lain. Antara satu kajian dengan kajian yang lain saling tekait dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Misalkan, kajian rijal al-hadits berkaitan pula dengan kajian tentang thabaqat al-ruwah, dan demikian seterusnya.
3.              Memiliki metode pengembangan.
Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah jika ia mempunyai metode pengembangan di mana dengan metode pengembangan ini diharapkan ilmu tersebut akan senantiasa dapat sesuai dengan zamannya dan dapat berlaku kapanpun sesuai dengan suasana yang melingkupi serta dapat dilakukan pengujian ulang.
Demikian pula ilmu hadits, di dalamnya juga terdapat metode pengembangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam rentetan sejarah ilmu hadits sendiri, di mana keberadaannya selalu berkembang sesuai dengan masa dan tempatnya. Untuk itu, pembahasan semacam ini akan selalu meningkat seiring dengan pentingnya penelaahan atas hadits. Metode yang dikembangkan sekarang kebanyakan berorientasi pada kritik historis-antropologis, sosialogis dan psikologis.
4.              Memiliki evidensi empiris
Ilmu pengetahuan haruslah mempunyai kejelasan empiris yang dapat dilakukan berdasarkan pengamatan (observasi) atau percobaan (experiment). Terkait dengan hal ini, pembahasan yang ada dapat dilakukan dalam bingkai rasionalisme dan penomenologi.
Ilmu hadits di dalam kajiannya juga memiliki kejelasan empiris dalam objeknya; hadits sebagai objek yang di dalamnya mencakup matan, sanad dan rawi dapat diteliti secara empiris dan faktual. Bukti adanya hal tersebut telah banyak dilakukan ulama terdahulu dalam meneliti dan menyeleksi hadits dengan menetapkan metode-metode tertentu untuk dapat diterima, terutama dalam takhrij al-hadits.

Perspektif dan Prospektif Ulumul Hadits
   Jarak waktu antara masa Rasulullah dengan penulisan hadits secara lengkap dan resmi cukup lama. Seperti yang kita tahu kodifikasi hadits baru terlaksana sekitar abad kedua dan ini tentu saja memberikan peluang munculnya para pemalsu hadits dengan berbagai macam latar belakang dan kepentingan sehingga munculnya hadits maudhu yang dapat mengancam kemurnian hadits.
   Persoalan-persoalan tersebut bisa dikurangi dengan usaha keras ulama dalam menyusun seperangkat kaidah yang dikenal dengan ulumul hadits. Usaha tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan dan kedudukan ilmu haditsdalam upaya pemurnian hadits. Kedudukan ilmu ini akan sangatlah terasa penting dengan perlunya memahami hadits secara baik dan benar. Tanpa pemahaman terhadap ilmu hadits, hadits-hadits Nabi SAW tidak akan dipelajari secara baik apalagi sempurna. Sekiranya seluruh periwayatan hadits nabi sama dengan periwayatan Al-Qur’an. Yakni sama-sama mutawatir (Qathiy al-wurud) barangkali istilah istilah shahih, hasan, dhaif, mardud dan maqbul tidak pernah muncul dalam kajian ilmu hadits.
       Kajian ilmu hadits pada tataran selanjutnya semakin dirasa penting ditingkatkan seiring perkembangan zaman di mana tuntutan akan hadits dalam kerangka penetapan hukum sangat penting. Hal ini adalah wajar untuk mendapatkan kepastian hukum. Hal ini dapat terwujud jika didapatkan dari sumber yang otentik. Di samping itu, hadits ini senantiasa berfungsi sebagai penjaga atas sunnah dari adanya upaya pemalsuan.
   Ulumul Hadits sebagai salah satu cabag ilmu pengetahuan seharusnya diefektifkan pengembangannya. Langkah-langkah yang ditempuh selama ini adalah dengan metode penelitian hadits. Langkah semacam ini banyak digeluti oleh para ulama. Berangkat dari pengalaman dan kenyataan yang ada maka perlu dikembangkan adanya naqd (kritik) hadits, baik dalam matan maupun sanad. Dengan menggunakan pendekatan historis-antropologis, sosiologis dan psikologis. Pemahaman dalam usaha tersebut tidak saja digunakan dalam kritik terhadap hadits, namun juga dapat dipergunakan dalam pemahaman yang utuh atas hadits.
PENUTUP

   Bahwa hadits layak dikatakan sebagai ilmu pengetahuan dikarenakan memenuhi ciri-ciri ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu Hadits juga senantiasa menatap ke masa depan dengan adanya usaha-usaha untuk menyempurnakan dan mengembangkan kajian-kajiannya. Bab ini tentu saja merupaka kajian awal dan karenanya diperlukannya upaya penyempurnaan di masa mendatang. Kami beharap di antara pembaca sekalian ada yang tertarik untuk mendalami kajian di bidang epistemologi hadits sehingga eksistensi ilmu hadits sebagai ilmu akan semakin kuat dan mantap.

1 komentar:

  1. youtube - YouTube
    youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube.youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. free youtube to mp3 converter youtube. youtube.

    BalasHapus