Senin, 24 Agustus 2015

MENCEGAH PENEBANGAN HUTAN SECARA LIAR MELALUI PENDEKATAN NEO-HUMANISME

MENCEGAH PENEBANGAN HUTAN SECARA LIAR MELALUIPENDEKATAN NEO-HUMANISME

Pendahuluan
Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang meiliki kawasan hutan yang sangat luas. Hutan memiliki banyak manfaat bagi kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi, sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang.
Hutan di Indonesia sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup satwa dan puspa yang ada di dalamnya. Selain itu, keberadaan hutan di Indoneisa ini juga berfunsgi untuk melestarikan beraneka ragam potensi satwa dan puspa di Indoensia. Berikut ini manfaat dari adanya keberadaan hutan :
1. Manfaat/Fungsi Ekonomi

- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi.

- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.

- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.

2. Manfaat/Fungsi Klimatologis

- Hutan dapat mengatur iklim

- Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi kehidupan.

3. Manfaat/Fungsi Hidrolis

- Dapat menampung air hujan di dalam tanah

- Mencegah intrusi air laut yang asin

- Menjadi pengatur tata air tanah

4. Manfaat/Fungsi Ekologis

- Mencegah erosi dan banjir

- Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah

- sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman hayati

Penebangan hutan
Saat ini, hanya kurang dari separuh Indonesia yang memiliki hutan, merepresentasikan penurunan signifikan dari luasnya hutan pada awalnya. Antara 1990 dan 2005, negara Indonesia telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil pada masa itu, dan sejak akhir 1990an, penggusuran hutan primer makin meningkat hingga 26 persen. Kini, hutan-hutan Indonesia adalah beberapa hutan yang paling terancam di muka bumi.
Jumlah hutan-hutan di Indonesia sekarang ini makin turun dan banyak dihancurkan berkat penebangan hutan, penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar. Luas hutan hujan semakin menurun, mulai tahun 1960an ketika 82 persen luas negara ditutupi oleh hutan hujan, menjadi 68 persen di tahun 1982, menjadi 53 persen di tahun 1995, dan 49 persen saat ini. Bahkan, banyak dari sisa-sisa hutan tersebut yang bisa dikategorikan hutan yang telah ditebangi dan terdegradasi. Berikut ini beberapa ilustrasi mengenai penebangan hutan di Indonesia :
Efek dari berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran sungai yang tidak biasa, erosi tanah, dan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan. Polusi dari pemutih khlorin yang digunakan untuk memutihkan sisa-sisa dari tambang telah merusak sistem sungai dan hasil bumi di sekitarnya, sementara perburuan ilegal telah menurunkan populasi dari beberapa spesies yang mencolok, di antaranya orangutan (terancam), harimau Jawa dan Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir punah). Di pulau Irian Jaya, satu-satunya sungai es tropis memang mulai menyurut akibat perubahan iklim, namun juga akibat lokal dari pertambangan dan penggundulan hutan.

Penebangan kayu tropis dan ampasnya merupakan penyebab utama dari berkurangnya hutan di negara itu. Indonesia adalah eksportir kayu tropis terbesar di dunia, menghasilkan hingga 5 milyar USD setiap tahunnya, dan lebih dari 48 juta hektar (55 persen dari sisa hutan di negara tersebut) diperbolehkan untuk ditebang. Penebangan hutan di Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu terpencil, perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan telah dihabisi dan perusahaan kayu harus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Sebagai contoh, di pertengahan 1990an, hanya sekitar 7 persen dari ijin penambangan berada di Irian Jaya, namun saat ini lebih dari 20 persen ada di kawasan tersebut. Mari kita cermati petikan dari Kompas, 26 Agustus 2005 :
Akibat Penebangan Hutan, 2.100 Mata AirMengering
Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah di Banyumas, Jawa Tengah, akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk kembali menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras.
Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Di Banyumas saat ini tinggal 900 mata air, padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air.
Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk, ujar Wisnu Hermawanto, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas, Kamis (25/8).
Akan tetapi akibat berbagai tekanan baik kebutuhan hidup maupun perkembangan penduduk, perlindungan terhadap sumber air maupun tanaman keras atau hutan rakyat semakin berat.
Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya.
Kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.
Satu ikat kayu bakar ukuran sedang sekarang harganya sudah Rp 7.000, ujar Wisnu.
Ia memprediksi, setiap hari sekitar 1.500 pohon milik penduduk di Banyumas ditebang untuk dijadikan kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah. (nts)
Sumber: Kompas, Jumat, 26 Agustus 2005

Di Indonesia, penebangan kayu secara legal mempengaruhi 700.000-850.000 hektar hutan setiap tahunnya, namun penebangan hutan illegal yang telah menyebar meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih tinggi – di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar USD pertahun dari pajak akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang resmi dengan berkurangnya suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga internasional untuk kayu dan produk kayu.

Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa reputasi baik dan politisi licik, larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi telah ditanamkan pada masa pemerintahan mantan Presiden Jendral Haji Mohammad Soeharto (Suharto), yang memperoleh kekuasaan sejak 1967 setelah berpartisipasi dalam perebutan pemerintahan oleh militer di tahun 1967. Di bawah pemerintahannya, kroni tersebar luas, serta banyak dari relasi dekat dan kelompoknya mengumpulkan kekayaan yang luar biasa melalui subsidi dan praktek bisnis yang kotor.
Pendekatan Neo-Humanisme
Hutan-hutan Indonesia menghadapi masa depan yang suram. Walau negara tersebut memiliki 400 daerah yang dilindungi, namun kesucian dari kekayaan alam ini seperti tidak ada. Dengan kehidupan alam liar, hutan, tebing karang, atraksi kultural, dan laut yang hangat, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk eko-turisme, namun sampai saat ini kebanyakan pariwisata terfokus pada sekedar liburan di pantai. Sex-tourism merupakan masalah di beberapa bagian negara, dan pariwisata itu sendiri telah menyebabkan permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan hidup, mulai dari pembukaan hutan, penataan bakau, polusi, dan pembangunan resort.

Melihat dampak dari penebangan hutan secara liar tersebut,maka perlu adanya suatu cara untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Dalam hal ini, penulis ingin memberikan kontribusi dalam menyikapi adanya penebangan hutan tersebut dengan cara pendekatan secara neo-humanis. Di bawah ini akan diuraikan beberapa pendekatan neo-humanis dalam mencegah dan mengurangi terjadinya penebangan hutan secara liar :
  1. Penduduk lokal biasanya bergantung pada penebangan hutan di hutan hujan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Pada masa lalu, praktek-praktek semacam itu biasanya tidak terlalu merusak ekosistem. Bagaimanapun, saat ini wilayah dengan populasi manusia yang besar, curamnya peningkatan jumlah orang yang menebangi pohon di suatu wilayah hutan hujan bisa jadi sangat merusak. Sebagai contoh, beberapa wilayah di hutan-hutan di sekitar kamp-kamp pengungsian di Afrika Tengah (Rwanda dan Congo) benar-benar telah kehilangan seluruh pohonnya. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dan penyuluhan kepada penduduk setempat tentang betapa pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan semua umat.

  1. Dalam hal penebangan hutan secara konservatif, denagn cara menebang pohon yang sudah tidak berproduktif lagi. Jangan sampai pohon yang masih muda dan masih berproduktif ditebang. Selain itu, sebaiknya masyrakat sekitar perlu diberi arahan dalam penebangan pohon, di antaranya larangan untuk menebang pohon yang sebagai plasa nutfah. Selanjutnya, setiap menebang satu pohon, harus seerag menaggabti denagn menamam pohon kembali sebanyak satu pohon. Bila pendekatan ini dapat dilaksananakn secara tanggung jwab, niscaya tidak akan lagi terjadi penggundulan hutan.

  1. Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang mengatur tentang pengelolaan hutan menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsip-prinsip keterpaduan, pengakuan hak-hak asasi manusia, serta keseimbangan ekologis, ekonomis, dan pendekatan neo-humanisme.

  1. Selanjutnya perlu adanya suatu program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian hutan. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal harus diselenggarakan dan difasilitasi berbagai pelatihan untuk meningkatkan kepedulian lingkungan di kalangan masyarakat, seperti pelatihan pengendalian kerusakan hutan bagi masyarakat dan pelatihan lingkungan hidup untuk para tokoh dalam masyarakat agar nantinya bisa membawa masyarakat yang sadar akan lingkungannya.

  1. Melalui pendekatan neo-humanisme ini, juga perlu dibentuk suatu kelompok peduli hutan dalam masyarakat yang bertugas memantau keadaan hutan di sekitarnya dan melakukan pelestarian hutan, kemudian menularkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari berbagai pelatihan manajerial kehutanan kepada masyrakat di sekitarnya, sehingga nantinya akan ada rasa saling memiliki dengan adanya keberadaan hutan tersebut.

  1. Melakukan program reboisasi secara rutin dan pemantauan tiap bulannya dengan dikoordinir oleh tokoh-tokoh masyarkat setempat. Dengan adanya pemantauan tersebut, maka hasil kerja keras dari reboisasi yang telah dilaksanakan akan tetap terpantau secara rutin mengenai perkembanganya dan potensi ke depannya.

  1. Selain itu, perlu adanya inovasi pelatihan keterampilan kerja di masyarakat secara gratis dan rutin dari pihak-pihak yang terkait, seperti Dinas Tenaga Kerja,dll, sehinnga masyarakat tidak hanya bergantung pada hasil hutan saja, tetapi dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan dimilkinya.

Penutup

Sementara itu, peningkatan peranan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup harus terus ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan akan diarahkan kepada upaya: peningkatan dan pengakuan atas peran dan kepemilikan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; penyusunan pedoman mekanisme konsultasi publik dalam penetapan kebijakan dan peraturan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat lokal dalam pengawasan pengelolaan sumber daya alam dan pengendalian kualitas lingkungan hidup.


Referensi

Hoed, Benny, et al. Jakarta Recovery; Blue Print Pembangunan Ibukota, Sumbangsih Kampus untuk Jakarta. Jakarta: Kelompok Kerja Pembangunan Ibukota-BEMUI. 2007

http://world.mongabay.com/indonesian/502.html (diakses pada tanggal 29 Oktober 2009 Pukul 22:44 )


http://www.dephut.go.id/ (diakses pada tanggal 29 Oktober 2009 Pukul 22: 53)


1 komentar: